Operasi Ke (ケ号作戦 Ke-go Sakusen) adalah operasi penarikan mundur tentara Jepang dari Guadalcanal yang berlangsung dengan sukses pada tahap akhir Kampanye Guadalcanal perang dunia ke2. Operasi berlangsung dari 14 Januari hingga 7 Februari 1943, dan melibatkan Angkatan darat kekaisaran japang dan Angkatan laut jepang di bawah pengarahan sepenuhnya dari Markas umum kekaisaran jepang. Isoroku yamamoto dan Hitoshi imamura termasuk di antara komandan dalam operasi ini.
Keputusan Jepang untuk mundur dan menyerahkan Guadalkanal ke tangan sekutu didasarkan pada beberapa alasan. Segala upaya Jepang untuk merebut kembali Henderson field di Guadalkanal berakhir dengan kegagalan dan menyebabkan korban besar bagi Jepang. Armada Angkatan Laut Jepang di kawasan itu juga menderita kerugian besar dalam berbagai misi pengiriman bala bantuan dan perbekalan di Guadalkanal. Di samping itu, perkiraan sumber daya yang dibutuhkan untuk upaya-upaya berikutnya merebut Guadalkanal dipandang telah memengaruhi keamanan strategis dan operasi-operasi Jepang di wilayah-wilayah Kekaisaran Jepang lainnya. Keputusan mundur telah mendapat dukungan dari Kaisar hirohito pada 31 Desember 1942.
Operasi ini dimulai pada 14 Januari 1943 ditandai dengan kedatangan satu batalion pasukan infanteri di Guadalkanal yang bertindak sebagai pasukan barisan belakang sewaktu evakuasi. Sekitar waktu yang bersamaan, pesawat-pesawat dari angkatan darat dan angkatan laut Jepang memulai kampanye Superioritas udara di sekitar Kepulauan Solomon dan Nugini. Selama kampanye udara berlangsung, satu kapal penjelajah Amerika Serikat ditenggelamkan Jepang dalam pertempuran pulau rennell. Dua hari kemudian, pesawat-pesawat Jepang menenggelamkan satu kapal perusak Amerika yang sedang berada di dekat Guadalkanal. Operasi penarikan mundur dilaksanakan Jepang pada malam 1 Februari, 4 Februari, dan 7 Februari 1943 dengan memakai kapal-kapal perusak. Selain beberapa kali serangan udara dan serangan kapal torpedo terhadap kapal-kapal perusak Jepang yang sedang melakukan evakuasi, Sekutu tidak berusaha secara aktif menghalangi penarikan mundur tentara Jepang. Para komandan Sekutu percaya operasi yang sedang dilakukan Jepang adalah operasi pengiriman bala bantuan dan bukan operasi evakuasi.
Secara keseluruhan, Jepang berhasil mengevakuasi 10.652 prajurit dari Guadalkanal hanya dengan korban satu kapal perusak tenggelam dan kerusakan pada tiga kapal perusak. Pada 9 Februari 1943, tentara Sekutu baru menyadari bahwa tentara Jepang sudah pergi dan menyatakan Guadalkanal sebagai daerah aman yang menandai berakhirnya perebutan Pulau Guadalkanal yang berlangsung selama enam bulan.
Latar belakang
Kampanye Guadalkanal
Pada 7 Agustus 1942, tentara sekutu (terutama Amerika Serikat) mendarat di Guadalkanal, Tulagi, dan Kepulauan florida di kepulauan Solomon. Pendaratan Sekutu di pulau-pulau tersebut dimaksudkan untuk mencegah Jepang menggunakan Guadalkanal sebagai pangkalan militer yang mengancam rute perbekalan antara Amerika Serikat dan Australia. Sekutu juga bermaksud mengamankan pulau-pulau tersebut sebagai titik awal untuk sebuah kampanye yang bertujuan akhir mengisolasi pangkalan utama Jepang di Rabaul, dan sekaligus secara tidak langsung mendukung kampanye Nugini yang dilancarkan Sekutu. Pendaratan Sekutu di Guadalkanal mengawali Kampanye Guadalcanal yang berlangsung selama enam bulan.
Jepang dikejutkan oleh pendaratan Sekutu. Pada senja 8 Agustus 1942, tentara Sekutu (terutama Korps marinir Amerika) telah berhasil mengamankan tulagi dan pulau-pulau kecil yang berdekatan, berikut sebuah lapangan terbang yang sedang dibangun Jepang di Guadalkanal, tepatnya di Tanjung Lunga. Sekutu kemudian menamakan lapangan terbang itu sebagai Henderson field. Pesawat terbang Sekutu yang beroperasi dari Henderson disebut "Kaktus Air Force" sesuai dengan sandi Sekutu untuk Guadalkanal (Kaktus).
Sebagai reaksi terhadap pendaratan Sekutu di Guadalkanal, Markas Umum kekaisaran jepang menugaskan Angkatan darat 17 untuk merebut kembali Guadalkanal. Angkatan Darat 17 adalah kesatuan seukuran Korps yang bermarkas di Rabaul di bawah pimpinan Letnan Jenderal Harukichi Hyakutake. Ancaman pesawat-pesawat Angkatan Udara Kaktus menyebabkan Angkatan laut jepang tidak dapat menggunakan kapal-kapal angkut yang besar dan lambat untuk mengantarkan pasukan dan perbekalan ke Guadalkanal. Sebagai gantinya, kapal-kapal perang yang berpangkalan di Rabaul dan Kepulauan Shordland dipakai Jepang untuk mengantarkan pasukan ke Guadalkanal. Kapal-kapal perang Jepang yang sebagian besar adalah kapal pejelajah ringan dan kapal perusak dari Armada 8 di bawah komando Laksamana Mikawa biasanya dapat melakukan pelayaran bolak-balik ke Guadalkanal melalui Selat new georgia hanya dalam satu malam. Konvoi diberangkatkan setelah matahari terbenam, dan kembali dengan selamat ke pangkalan sebelum matahari terbit. Misi-misi bala bantuan tersebut dilakukan pada malam hari untuk mengurangi kemungkinan diserang oleh pesawat-pesawat Angkatan Udara Kaktus. Jepang memakai konvoi kapal perang berkecepatan tinggi untuk mengangkut perbekalan selama berlangsungnya Kampanye Guadalkanal. Sekutu menyebut konvoi Jepang sebagai "Tokyo Ekspres", sementara pihak Jepang menyebutnya sebagai "Angkutan Tikus".
Kawasan Kepulauan Solomon di Pasifik Selatan. Pangkalan utama Jepang di Rabaul berada di bagian kiri atas peta. Guadalkanal (kanan bawah peta) berada di ujung tenggara selat new georgia (disebut "The Slot" oleh Sekutu
Dengan memakai pasukan yang diantar kapal-kapal perang ke Guadalkanal, Jepang berusaha sebanyak tiga kali untuk merebut kembali Lapangan Terbang Henderson, dan semuanya berakhir dengan kegagalan. Setelah gagal ketiga kalinya merebut Lapangan Terbang Henderson, Jepang masih berusaha sekali lagi mengantarkan sisa Divisi infantri 38 dan peralatan berat mereka ke Guadalkanal. Namun misi tersebut digagalkan Sekutu dalam Pertempuran laut guadalcanal12 November–15 November 1942. Akibat kehancuran armada Jepang dalam Pertempuran Laut Guadalkanal, Jepang membatalkan upaya berikutnya untuk merebut kembali Lapangan Terbang Henderson.
Pada pertengahan November, tentara Sekutu menyerang kedudukan Jepang di Buna gona, Nugini. Pimpinan Armada gabungan angkatan laut Jepang yang bermarkas di Truk dan berada sepenuhnya di bawah komando Laksamana Isoroku Yamamoto menganggap gerak maju Sekutu di Nugini sebagai ancaman yang lebih besar bagi keamanan Kekaisaran Jepang dibandingkan kehadiran militer Sekutu di selatan Kepulauan Solomon. Oleh karena itu, perwira staf Armada Gabungan Angkatan Laut Jepang mulai menyiapkan rencana-rencana meninggalkan Guadalkanal, dan menggeser prioritas serta sumber daya untuk operasi-operasi mereka di sekitar Nugini. Pihak angkatan laut saat itu masih belum menginformasikan angkatan darat mengenai niat-niat mereka yang sebenarnya.
Memasuki bulan Desember 1942, Jepang mengalami kesulitan besar dalam menjaga agar pasukan di Guadalkanal tetap mendapat perbekalan yang cukup akibat serangan udara dan laut Sekutu terhadap pangkalan-pangkalan dan konvoi-konvoi mereka. Sejumlah kecil perbekalan yang berhasil sampai di Guadalkanal ternyata tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan harian tentara Jepang. Hingga 7 Desember 1942, 50 prajurit Jepang tewas setiap harinya akibat malnutrisi, penyakit, serta serangan darat dan udara Sekutu. Seluruhnya Jepang mengirimkan hampir 30.000 prajurit angkatan darat ke Guadalkanal sejak dimulainya kampanye, namun hingga Desember 1942 hanya kira-kira 20.000 prajurit yang masih hidup. Dari jumlah tersebut hanya kira-kira 12.000 prajurit yang setidaknya masih fit untuk tugas tempur. Sisanya sudah tidak dapat ditugaskan akibat luka pertempuran, penyakit, atau malnutrisi.
Kapal-kapal Angkatan Laut Kekaisaran Jepang terus menerus ditenggelamkan atau dirusak Sekutu dalam usaha mereka untuk menjaga agar tentara Jepang di Guadalkanal tetap memperoleh perbekalan yang cukup. Satu kapal perusak ditenggelamkan oleh kapal perang Amerika di Pertempuran
Tassarafonga 30 November 1942. Satu kapal perusak lainnya berikut satu kapal selam tenggelam, dan dua kapal perusak dirusak serangan-serangan kapal patroli torpedo Amerika dan Angkatan Udara Kaktus ketika melaksanakan misi pembekalan kembali dari 3 Desember hingga 12 Desember 1942. Pihak angkatan laut Jepang makin bertambah frustrasi setelah mengetahui betapa sedikitnya perbekalan yang akhirnya benar-benar sampai ke tangan tentara Jepang di Guadalkanal. Pimpinan Armada Gabungan Jepang mulai menyatakan kekhawatiran kepada kolega mereka di angkatan darat tentang banyaknya kapal-kapal perang Jepang yang tenggelam atau rusak sewaktu melaksanakan misi perbekalan hingga dapat mengancam rencana-rencana strategis untuk melindungi wilayah Kekaisaran Jepang pada masa depan.
Keputusan untuk mundur
Takushiro hattori, perwira staf di Markas umum kekaisaran jepang.
Sepanjang November 1942, pucuk pimpinan Markas Umum Kekaisaran di Tokyo masih terus secara terbuka mendukung upaya-upaya lebih lanjut untuk merebut kembali Guadalkanal dari tangan Sekutu. Namun pada waktu yang bersamaan, para perwira staf berpangkat rendah mulai secara diam-diam membicarakan rencana meninggalkan Guadalkanal. Takushiro hattori dan Masanobu Tsuji setelah keduanya baru saja pulang berkunjung dari Guadalkanal, mengatakan kepada rekan-rekan sesama perwira staf bahwa setiap upaya lebih lanjut merebut kembali pulau itu akan sia-sia.Ryujo sejima melaporkan bahwa atrisi kekuatan pasukan angkatan darat ternyata lebih parah daripada yang perkiraan sebelumnya sehingga dikhawatirkan tidak dapat lagi mendukung operasi-operasi pada masa mendatang. Pada 11 Desember 1942, dua perwira staf, Letkol Laut Yuji Yamamoto dan Mayor (AD) Takahiko Hayashi tiba kembali di Tokyo dari Rabaul, dan menegaskan laporan-laporan yang dibuat Hattori, Tsuji, dan Sejima. Keduanya lebih lanjut melaporkan bahwa sebagian besar perwira angkatan laut dan angkatan darat di Rabaul tampaknya mendukung rencana Jepang untuk mundur dari Guadalkanal. Sekitar waktu itu pula, Kementrian perang jepang menginformasikan kepada Markas Umum Kekaisaran tentang tidak cukupnya jumlah kapal-kapal yang dapat dipakai untuk mendukung upaya merebut kembali Guadalkanal atau mengangkut sumber daya strategis untuk mempertahankan ekonomi dan kekuatan militer Jepang.
Pada 19 Desember 1942, sebuah delegasi perwira staf Markas Umum Kekaisaran yang dipimpin Kepala Seksi Operasi Markas Umum, Kolonel (AD) Joichiro
Sanada tiba di Rabaul untuk mendiskusikan rencana-rencana masa depan Nugini dan Guadalkanal. Hitoshi
Imamura, komandan Angkatan Darat Wilayah 8 yang bertanggung jawab atas operasi-operasi angkatan darat di Nugini dan Kepulauan Solomon, tidak secara langsung merekomendasikan penarikan mundur dari Guadalkanal, tetapi secara terbuka dan terang-terangan menjelaskan kesulitan-kesulitan yang sedang dihadapi berkaitan dengan upaya-upaya lebih lanjut merebut kembali Guadalkanal. Imamura juga menyatakan bahwa setiap keputusan penarikan mundur harus menyertakan rencana evakuasi sebanyak mungkin pasukan dari Guadalkanal.
Setelah Sanada tiba kembali di Tokyo pada 25 Desember 1942, dan merekomendasikan kepada Markas Umum Kekaisaran agar Guadalkanal ditinggalkan dengan segera, dan semua prioritas dicurahkan untuk kampanye di Nugini. Pimpinan Markas Umum menyetujui rekomendasi Sanada pada 26 Desember 1942, dan memerintahkan staf mereka untuk mulai menyusun rencana penarikan mundur dari Guadalkanal serta membangun garis pertahanan baru di Kepulauan Solomon tengah.
Pada 28 Desember 1942, Jenderal Hajime Sugiyama dan Laksamana Osami Nagano secara pribadi menerangkan kepada Kaisar Hirohito tentang keputusan mundur dari Guadalkanal. Pada 31 Desember 1942, keputusan tersebut didukung secara resmi oleh kaisar.
Rencana dan pihak-pihak yang terlibat
Pada 3 Januari 1943, Markas Umum Kekaisaran memberitahukan Angkatan Darat Wilayah 8 dan Armada Gabungan tentang keputusan mundur dari Guadalkanal. Sebelum 9 Januari 1942, staf Armada Gabungan bersama staf Angkatan Darat Wilayah 8 telah selesai menyusun rencana yang secara resmi diberi nama Operasi Ke. Nama operasi ini diambil dari salah satu mora dalam aksara Kana bahasa jepang.
Rencana tersebut mengharuskan didaratkannya satu batalion infanteri angkatan darat oleh kapal perusak sekitar tanggal 14 Januari 1942. Mereka akan dipakai sebagai pasukan kawal belakang sewaktu evakuasi berlangsung. Angkatan Darat 17 menurut rencana mulai ditarik mundur ke ujung barat pulau kira-kira pada tanggal 25 Januari atau 26 Januari 1943. Kampanye Superioritas udara di sekitar Kepulauan Solomon selatan menurut rencana dimulai pada 28 Januari 1943. Pasukan Angkatan Darat 17 akan dijemput dalam tiga gelombang oleh kapal-kapal perusak pada minggu pertama bulan Februari, dengan target penyelesaian pada 10 Februari 1943. Pada waktu yang bersamaan, armada kapal perang dan pesawat terbang Jepang akan melakukan manuver-manuver mencolok dan serangan-serangan kecil di sekitar Nugini dan kepulauan Marshal, disertai lalu lintas radio palsu sebagai usaha mengelabui Sekutu mengenai maksud Jepang yang sebenarnya.
Gunichi Mikawa, komandan Armada 8 Jepang
Laksamana Yamamoto menugaskan kapal Junyo dan Zuiho, kapal tempur Kongo dan Haruna, dan empat kapal penjelajah berat ditambah satu kapal perusak sebagai armada tabir untuk melindungi Operasi Ke dari kejauhan. Nobutake Kondo bertindak sebagai komandan armada tabir di bawah pimpinan Nobutake Kondo yang akan ditempatkan sekitar pulau Ontong java di utara Kepulauan Solomon. Misi-misi evakuasi akan dilakukan oleh Armada 8 Mikawa yang terdiri dari kapal penjelajah berat Chokai dan Kumano, kapal penjelajah ringan Sendai, dan 21 kapal perusak. Kapal-kapal perusak Mikawa ditugaskan untuk melakukan operasi evakuasi yang sebenarnya. Yamamoto memperhitungkan setidaknya setengah dari jumlah kapal-kapal perusak Mikawa diperkirakan akan tenggelam sebagai korban dalam operasi ini.
Pendukung superioritas udara dalam operasi ini adalah Armada Udara 11 Angkatan Laut Kekaisaran Jepang dan Divisi Udara 6 Angkatan Darat Kekaisaran Jepang yang berpangkalan di Rabaul, dengan kekuatan masing-masing sebesar 212 dan 100 pesawat terbang. Selain itu, 64 pesawat dari grup udara kapal induk Zuikaku ditugaskan untuk sementara ke Rabaul. Total pesawat Jepang yang terlibat dalam operasi mencapai 436 pesawat dengan tambahan 60 pesawat terbang laut dari Angkatan Udara Wilayah "R" milik angkatan laut yang berpangkalan di Rabaul, Bougainville dan Kepulauan Shordland. Gabungan satuan-satuan kapal perang dan penerbangan angkatan laut Jepang diresmikan dengan nama Armada Wilayah Tenggara di bawah komando Junichi kusaka di Rabaul.
Lawan Jepang adalah kapal induk Amerika Serikat Enterprise dan Saratoga, enam kapal induk pengawal, tiga kapal tempur cepat, empat kapal tempur tua, 13 kapal penjelajah, dan 45 kapal perusak di bawah komando Laksamana William Halsey, Jr yang menjabat komandan tentara Sekutu di Pasifik Selatan. Di udara, Angkatan udara 13 mengerahkan 92 pesawat tempur dan pesawat pengebom di bawah komando Brigadir Jenderal Nathan F.Twining. Sementara itu, Angkatan Udara Kaktus di Guadalkanal menyiapkan 81 pesawat terbang di bawah komando Brigadir Jenderal (Marinir)Francis Mulchay. Laksamana Muda Aubrey Fitch
ditunjuk sebagai komandan keseluruhan Angkatan Udara Pasifik Selatan. Tambahan 339 pesawat terbang didapat dari satuan-satuan udara kapal induk dan kapal induk pengawal. Selain itu, 30 pesawat pengebom berat ditempatkan di Nugini, dan memiliki daya jelajah yang cukup untuk melakukan misi pengeboman di atas Kepulauan Solomon. Secara total, Sekutu memiliki persediaan kira-kira 539 pesawat terbang untuk menggagalkan Operasi Ke.
Hingga minggu pertama bulan Januari 1943, akibat korban penyakit, kelaparan, dan gugur dalam pertempuran, anak buah Hyakutake telah berkurang menjadi kira-kira 14.000 prajurit. Di antara mereka yang tersisa, sebagian besar sudah tidak kuat lagi bertempur karena terlalu sakit dan kurang gizi. Angkatan Darat 17 memiliki tiga meriam medan yang operasional, namun dalam keadaan sangat kekurangan peluru meriam. Di lain pihak, komandan Sekutu di Guadalkanal,Mayor jenderal Alexander Patch menerjunkan kekuatan gabungan berjumlah 50.666 personel dari Angkatan Darat Amerika Serikat dan Korps Marinir Amerika Serikat yang disebut Korps
XIV. Patch memiliki 167 senjata artileri, termasuk howitzer kaliber 75mm, 105mm dan 155mm yang semuanya dilengkapi persediaan peluru berlimpah.
Operasi
Persiapan
Pada 1 Januari 1943, militer Jepang mengganti kode komunikasi radio mereka sehingga mempersulit intelijen Sekutu untuk menebak maksud dan gerak-gerik Jepang. Penggantian kode dilakukan setelah sebagian dari sandi radio Jepang dipecahkan oleh Sekutu. Sepanjang bulan Januari, pengintaian dan analisis lalu lintas radio Sekutu mencatat adanya konsentrasi kapal-kapal dan pesawat terbang di Truk, Rabaul, dan Kepulauan Shortland. Analis Sekutu menyimpulkan bahwa peningkatan lalu lintas radio di Kepulauan Marshall tidak lebih dari sekadar pengelabuan untuk mengalihkan perhatian Sekutu dari operasi yang akan dilakukan Jepang di Nugini atau Kepulauan Solomon. Meskipun demikian, personel intelijen Sekutu salah menafsirkan maksud operasi yang dilakukan Jepang. Pada 26 Januari 1943, seksi intelijen Komando Pasifik sekutu mengabarkan kepada tentara Sekutu di Pasifik bahwa Jepang sedang menyiapkan ofensif baru dengan nama sandi Ke di Kepulauan Solomon atau Nugini.
Pada 14 Januari 1943, sebuah misi Tokyo Ekspres yang terdiri dari sembilan kapal perusak mengantarkan Batalion Yano ke Guadalkanal untuk ditugaskan sebagai pasukan penjaga barisan belakang dalam evakuasi Ke. Mayor Keiji Yano memimpin batalion yang berkekuatan 750 pasukan infanteri dan sebuah baterai meriam gunung yang diawaki oleh 100 prajurit lainnya. Diterjunkan bersama Batalion Yono adalah Letnan Kolonel Kumao Imoto sebagai wakil Angkatan Darat Wilayah 8 yang ditugaskan menyampaikan perintah dan rencana evakuasi kepada Hyakutake. Angkatan Darat 17 masih belum tahu tentang adanya keputusan untuk mundur. Dalam perjalanan pulang dari Guadalkanal, sembilan kapal perusak Jepang diserang oleh pesawat-pesawat Angkatan Udara Kaktus dan Angkatan Udara 13 hingga mengakibatkan kerusakan pada dua kapal perusak, Aradhi dan Tanikaze, serta menembak jatuh delapan pesawat tempur Jepang yang mengawal konvoi. Lima pesawat terbang Amerika ditembak jatuh.
"Ini adalah tugas yang sangat berat bagi Angkatan Darat untuk mundur dalam situasi seperti sekarang. Namun, perintah-perintah dari Angkatan Darat Wilayah yang dibuat berdasarkan perintah kaisar, harus dilaksanakan dengan berapa pun ongkosnya. Saya tidak dapat menjamin misi ini dapat dilaksanakan sepenuhnya." |
Harukichi Hyakutake, 16 Januari 1943 |
|
Pada malam 15 Januari 1943, Imoto tiba di markas Angkatan Darat 17 di Kokumbona, dan memberitahu Hyakutake beserta staf tentang adanya keputusan untuk mundur dari Guadalkanal. Setelah menerima perintah tersebut dengan rasa enggan pada 16 Januari, staf Angkatan Darat 17 baru menyampaikan rencana evakuasi Ke kepada anak buah mereka pada 18 Januari 1943. Rencana tersebut ditujukan kepada Divisi 38 yang saat itu sedang bertahan melawan Ofensif Amerika di bukit-bukit pedalaman agar berhenti bertempur dan mundur hingga ke Tanjung Esperance di ujung barat Guadalkanal mulai 20 Januari 1943. Penarikan mundur Divisi 38 akan dilindungi oleh Divisi Infantri 2 yang sudah berada di Guadalkanal sejak Oktober 1942, dan oleh Batalion Yano yang selanjutnya akan mengikuti jejak Divisi 38 ke arah barat. Setiap prajurit yang sudah tidak mampu berjalan lagi dianjurkan bunuh diri demi "menjunjung kehormatan Angkatan Darat Kekaisaran".
Mundur ke barat
Patch memulai ofensif baru Sekutu persis ketika Divisi 38 Jepang mulai mundur dari kedudukan mereka di punggung bukit dan perbukitan di pedalaman Guadalkanal. Pada 20 Januari 1943, Divisi Infantri 25 di bawah komando Mayor Jenderal J. Lawton Collins menyerang beberapa bukit yang disebut tentara Amerika Serikat sebagai Bukit 87, Bukit 88, dan Bukit 89. Ketiga bukit tersebut membentuk sebuah punggungan yang mendominasi medan di Kokumbona. Tentara Amerika Serikat menemui perlawanan yang jauh lebih ringan daripada antisipasi mereka, dan berhasil merebut ketiga bukit tersebut sebelum pagi hari 22 Januari 1943. Setelah memindahkan pasukan untuk memanfaatkan kemajuan yang tidak terduga, Collins segera melanjutkan gerak maju pasukannya, dan sebelum senja berhasil merebut dua bukit berikutnya, Bukit 90 dan Bukit 91. Kemajuan yang diperoleh tentara Amerika membuat mereka berada pada posisi siap mengepung dan merebut Kokumbona, serta memerangkap Divisi 2 Jepang.
Tentara Amerika Serikat merebut Kokumbona dan mulai mendesak ke barat, 23-25 Januari 1943.
Jepang bereaksi cepat terhadap situasi di lapangan, dan segera mengevakuasi tentaranya dari Kokumbona. Divisi 2 diperintahkan untuk segera mundur ke arah barat. Tentara Amerika merebut Kokumbona pada 23 Januari 1943. Walaupun ada beberapa kesatuan Jepang yang hancur akibat terperangkap di antara pasukan Amerika, sebagian besar dari anggota Divisi 2 yang selamat berhasil melarikan diri.
Patch masih mengkhawatirkan adanya ofensif baru Jepang yang telah diperkuat. Dalam satu kali serangan ke posisi Jepang di barat Kokumbona, ia hanya berani mengerahkan pasukan kira-kira sejumlah satu resimen. Sisanya diposisikan di dekat Tanjung Lunga untuk melindungi lapangan terbang. Keadaan medan di barat Kokumbona menguntungkan upaya Jepang untuk menghambat gerak maju pasukan Amerika sementara sisa pasukan Angkatan Darat 17 meneruskan penarikan mundur mereka menuju Tanjung Esperance. Gerak maju pasukan Amerika dihambat di sebuah tanah sempit dengan lebar kira-kira 270 m hingga 550 m yang diapit oleh lautan, hutan lebat pedalaman, dan bukit karang yang terjal. Bukit-bukit karang berada tegak lurus dengan pantai, dilintasi oleh sejumlah sungai dan anak sungai sehingga keadaan medan mirip dengan sebuah "papan cuci".
Pada 26 Januari 1943, gabungan kesatuan Angkatan Darat Amerika Serikat dan Marinir yang disebut Divisi Gabungan Angkatan Darat-Marinir (Composite Army-Marine) maju ke arah barat hingga berhadapan dengan Batalion Yano di Sungai Marmura. Divisi Gabungan Angkatan Darat-Marinir AS untuk sementara dapat dihentikan oleh pasukan Yano yang kemudian perlahan-lahan mundur ke arah barat sepanjang tiga hari berikutnya. Pada 29 Januari 1943, Batalion Yano mundur hingga di seberang Sungai Bonegi. Di sana sudah menunggu prajurit-prajurit dari Divisi 2 yang telah membangun posisi-posisi defensif lain.
Kubu pertahanan Jepang di Bonegi berhasil menahan gerak maju tentara Amerika selama hampir tiga hari. Setelah dibantu bombardemen pantai dari kapal perusak wilson dan Anderson, tentara Amerika Serikat pada 1 Februari 1943 berhasil sampai seberang sungai, tetapi tidak langsung memaksa maju ke barat.
Kampanye udara
Kampanye superioritas udara Operasi Ke dimulai pertengahan Januari dengan serangan-serangan gangguan setiap malam ke Lapangan Udara Henderson oleh tiga hingga sepuluh pesawat terbang Jepang yang hanya mengakibatkan kerusakan kecil. Pada 20 Januari 1943, satu pesawat Kawanishi H8K terbang sendirian mengebom Espirutu Santo. Pada 25 Januari, Angkatan Laut Kekaisaran Jepang mengerahkan 58 Zero dalam misi serangan siang bolong ke Guadalkanal. Sebagai balasan, Angkatan Udara Kaktus memberangkatkan delapan Wildcat dan enam pesawat tempur P-38 yang semuanya kembali dengan selamat setelah menembak jatuh empat pesawat Zero.
Serangan besar kedua yang lebih besar dilancarkan pada 27 Januari 1943 oleh sembilan pesawat pengebom ringan Kawasaki Ki 48 yang dikawal oleh 74 pesawat tempur Nakajima Ki-43 milik Divisi Udara 6 Angkatan Darat Kekaisaran Jepang dari Rabaul. Dua belas Wildcat, enam P-38, dan sepuluh Curtis P-40 dari Lapangan Terbang Henderson menyambut serangan pesawat-pesawat Jepang di atas Guadalkanal. Dalam duel udara, enam pesawat tempur Jepang ditembak jatuh, sementara korban Angkatan Udara Kaktus terdiri dari satu Wildcat, empat P-40, dan dua P-38. Pesawat pengebom Kawasaki menjatuhkan bom-bom mereka di kubu-kubu Amerika di sekitar Sungai Matanikau yang hanya menyebabkan kerusakan kecil.
Pertempuran Pulau Rennell
Halsey mengira Jepang sedang memulai sebuah ofensif besar-besaran di selatan Kepulauan Solomon dengan Lapangan Terbang Henderson sebagai target. Oleh karena itu, Halsey menanggapi dengan mengirim satu konvoi pembekalan kembali ke Guadalkanal pada 29 Januari 1943 yang didukung oleh sebagian besar kapal-kapal perang yang dibagi menjadi lima gugus tugas Kelima gugus tugas tersebut mencakup dua armada kapal induk pesawat terbang, dua kapal induk pengawal, tiga kapal tempur